Menjajah Indonesia Melalui World Tobacco Asia
Tulisan ini saya dapat dari notes facebook Azhar Nurun Ala (klik utk lihat halamannya). Seusai membaca notes ini, saya ga segan ngeklik tombol share, bahkan aplot ini di blog saya dengan sangat menggebu-gebu. mengapa demikian? karena saya termasuk dalam barisan mereka yang terkena penyakit paru akibat banyak menghirup asap rokok. lebih dari itu, karena saya benci negara saya jadi ladang pembodohan yang salah satuny lewat rokok. silakan membaca!
“Jakarta
will, for the second time, be the host city for World Tobacco Asia 2012 and the
perfect location to celebrate World Tobacco’s 40th year organising
international tobacco events. Indonesia’s cigarette market is considered
the world’s fastest developing market. 30 percent of the 248 million adult
population smokes which makes Indonesia the fifth-largest cigarette market in
the world. Indonesia is a recognized tobacco-friendly market with no smoking
bans or other restrictions and regulations in contrast to neighboring ASEAN
countries. In 2009, the Asia Pacific region added six million new smokers and
will add another 30 million smokers by 2014. Ensure you take advantage of this
growing market by exhibiting at World Tobacco Asia 2012.”
-dilansir dari laman awal website resmi World Tobacco Asia
Masih lekat dalam ingatan kita, betapa di 2010 lalu Indonesia berkabung
atas direndahkannya harga diri bangsa dengan penyelenggaraan World Tobacco Asia
Exhibition 2010, tahun ini kita dipaksa kembali menenggak keprihatinan yang
juga tak kalah dalam. World Tobacco Asia kembali diselenggarakan di Indonesia,
kali ini sekaligus perayaan ulang tahun World Tobacco ke-40. Pemerintah, yang
seharusnya memprioritaskan kesehatan dan nama baik bangsa, untuk kesekian
kalinya ‘lupa’ melaksanakan amanahnya. Di sisi lain, industri-industri
rokok, dengan adanya peraturan-peraturan yang cukup ketat dalam pengamanan
tembakau di hampir seluruh negara di dunia, semakin memfokuskan anak panahnya
ke Indonesia. Regulasi yang lemah, Peningkatan jumlah perokok usia muda yang
sangat pesat, dan populasi penduduk yang besar sukses mengantarkan Indonesia
menjadi asbak besar nan nyaman bagi sampah-sampah nikotin dunia.
Pembiaran atas pembohongan dan pembodohan melalui iklan-iklan rokok,
ayat tembakau di UU Kesehatan 2009 yang sempat hilang, dan belum disahkannya
RPP Pengamanan Tembakau sampai saat ini sudah lebih dari cukup untuk
membuktikan betapa rapuh dan tidak seriusnya pemerintah dalam melindungi
kesehatan publik. Dalam hal ini, justru pemerintah terkesan lebih ‘manut’ pada
intervensi industri rokok.
Sesekali memang ada keprihatinan tentang dampak buruk rokok. Tayangan
Aldi, bocah 2 tahun yang muncul sedang menikmati rokok dengan khidmat di
Youtube misalnya, memicu keprihatinan yang luas dari berbagai kalangan. Begitu
pula yang terjadi saat Noor Atika Hasanah (Tika), gadis 25 tahun (yang
bertahun-tahun jadi perokok pasif) meninggal lantaran paru-parunya terinfeksi
pada Desember 2010 lalu, juga kontan melambungkan berbagai keprihatinan dan
kecaman akan bahaya rokok. Tapi keprihatinan sebatas keprihatinan. Kecaman cuma
jadi kecaman. Industri rokok tetap berdiri kokoh ditopang oleh 80 juta pecandu
rokok seantero Indonesia. Para pebisnis racun nikotin juga tetap masuk deretan
orang terkaya sejagat.
Seperti belum ‘puas’ dengan fakta-fakta ironis yang ada, kini pemerintah
kembali menunjukkan kerapuhan dan ketidakseriusannya dalam melindungi kesehatan
publik. Penyelenggaraan World Tobacco Asia, sebuah konferensi dan pameran
internasional yang dihadiri berbagai pengampu kepentingan industri rokok
internasional digelar untuk kedua kalinya di Indonesia dalam tiga tahun
terakhir. Idealnya tuan rumah WTA digilir di negara-negara di Asia.
Kenyataannya: 2010 Indonesia, 2011 Filiphina, lantas mengapa 2012 kembali di
Indonesia? Dan Ironisnya lagi, saat negara-negara lain menolak menjadi tuan
rumah atas nama regulasi dan kesehatan bangsanya, Indonesia menjadi
satu-satunya negara yang menerima dengan tangan terbuka.
Lantas apa tujuan diselenggarakannya WTA di Indonesia? Sudah jelas,
industrialisasi rokok dan pengukuhan Indonesia sebagai pasar empuk Industri
rokok seluruh dunia. Akan dipamerkan peralatan-peralatan canggih yang entah
mampu memproduksi berapa juta batang dalam satu detik, yang kemudian akan menggantikan
ribuan buruh-buruh linting yang tidak efisien. Akan dibicarakan bagaimana
strategi membodohi remaja (khususnya Indonesia) agar menjadi penyembah setia
rokok. Bahkan boleh jadi akan terjadi deal-deal politik
untuk bersatu saling dukung untuk ‘menjajah’ dan menghisap darah bangsa
Indonesia dengan nikotin. Inikah Indonesia, yang katanya negara yang berdaulat?
Di masyarakat diedarkan pertanyaan-pertanyaan konyol. Bukankah kretek
merupakan warisan budaya sehingga kita perlu menjaganya? Ini kampanye yang
digembor-gemborkan industri rokok. Kretek bukan warisan dan budaya karena
merupakan upaya Belanda pada waktu itu untuk menjual tembakau/rokok di pasar
Indonesia. Dan seperti kita ketahui bersama: Cigarettes kills. Maka tentu
membunuh dan meracuni bangsa melalui asap racun rokok bukanlah budaya bangsa
Indonesia yang ingin kita tampilkan dan lestarikan.
Bahkan Menurut catatan LDFEUI, sejak tahun 2005 PT. Philip Morris
International telah menguasai 98 persen saham dari PT HM. Sampoerna. Sementara
PT. British American Tobacco (BAT) telah mengakuisisi 57% saham dari PT Bentoel
International Investama milik group Rajawali. Pada Juli 2011, KT&G, sebuah
perusahaan dari Korea mengumumkan telah membeli 60% saham milik PT Trisakti
Purwosari Makmur (TPM), sebuah perusahaan rokok terkemuka dari Surabaya.
Sehingga sudah ada tiga raksasa perusahaan rokok multinasional yang menguasai
industri rokok dalam negeri.
Pertanyaan selanjutnya, bukankah WTA akan membantu petani Indonesia?
Kenyataannya sebagian besar tembakau diperoleh dari hasil import. Perhatian
industri rokok adalah pada pasar potensial Indonesia terutama anak-anak, remaja
laki-laki maupun perempuan. Bukan pada kemajuan ekonomi Indonesia apalagi
kesejahteraan petani.
Yang sudah pasti rokok adalah sumber kemiskinan dan kontra pencapaian
MDGs: karena cukai rokok yang dibanggakan itu sebenarnya dibebankan kepada
perokok, dan malah menjadi pengeluaran terbesar kedua setelah beras, terutama
di rumah tangga miskin. Selain itu juga penyakit akibat merokok atau menghisap
asap rokok orang lain memiliki beban nilai yang dapat mencapai 5 kali lipat
nilai cukai yang masuk. Rakyat yang sakit tidak mungkin dapat memaksimalkan
produktivitasnya. Ini juga menjadi beban negara dan upaya boikot bagi pencapaian
MDGs Indonesia.
Yang sudah pasti adalah mempromosikan rokok melalui WTA 2012 hanya akan
menguntungkan industri rokok, bukan petani, serta jelas akan merugikan pecandu
rokok serta keluarganya.
Yang lebih pasti lagi adalah kehadiran Bapak Presiden atau wakil dan
menteri-menterinya akan menjatuhkan martabat sebagai Pemimpin Bangsa. Cigarette kills. Bila para pimpinan
pemerintahan hadir, berarti mendukung pembunuhan masal akibat racun adiksi
nikotin rokok.
Maka pantaslah kita, sebagai negara yang mengaku berdaulat, merasa gerah
dengan dijadikannya bangsa Indonesia sebagai objek penghisapan darah dan
pembunuhan massal ini. Penyelenggaraan World Tobacco Asia di Indonesia untuk
kedua kalinya jelas merupakan pelecehan politik bagi Indonesia. Sementara
pemerintah diam saja?
Barangkali kita perlu mengingat sekaligus mengingatkan kembali ucapan
Presiden kita tercinta, Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Kepresidenan saat
menerima kunjungan Komisi Nasional Pengendalian Tembakau pada 29 September
lalu: “Goal
kita sama. Spiritnya sama. Rakyat Indonesia harus selamat dan sehat. Jika
tidak, mau jadi apa bangsa ini lima atau sepuluh tahun mendatang?”
oleh
Azhar Nurun Ala
Ketua
Umum Badan Eksekutif Mahasiswa
Mohon sebar tulisan ini sebanyak-banyaknya, via FB, Twitter, dan semua media yang bisa digunakan.
Bebaskan Indonesia dari penjajahan! Lepaskan Indonesia dari predikat 'Asbak
Besar bagi Sampah-sampah Nikotin Dunia' ! Tolak WTA di Indonesia!
Komentar
Posting Komentar