Musuh abadi

Entah sudah hari ke berapa kau mendiamkanku. Kita tak hanya satu rumah, tapi juga satu ranjang. Kadang saling berebut guling, atau saling menyuruh mematikan lampu. Tapi beberapa hari ini keributan-keributan sepele itu tak ada lagi.

***
Kita masih terlalu belia saat itu. Sambil tidur-tiduran di kamar ibu, kau berkata padaku bahwa kau sangat menginginkan sebuah benda bernama orgi (baca:orji). Benda serupa binder kecil yg pada masa itu sedang musim tuker-tukeran kertas isinya.

Aku juga sangat menginginkannya tapi selalu kuurungkan untuk membeli karena terlalu mahal bagiku. Uang sakuku Rp 500 dan orgi yg sedang kekinian di masanya itu berharga Rp 6000. Tapi ketika itu menjadi keinginanmu, seakan-akan itu adalah keharusan untukku mewujudkannya..

Pada sore di hari berikutnya aku membawakanmu pulang benda tersebut dan aku masih ingat wajah kegiranganmu. Detik itu, aku merasa  ingin merawat bahagiamu. Apapun caranya.

Meski mungkin sampai masa ini hadir, kau tak pernah tau bagaimana caranya aku mendapatkan barang yg sangat kau inginkan itu.

Sesaat setelah kau katakan menginginkannya, aku terdiam lalu memutuskan untuk mengambil tabunganku selama ini yg ibu simpankan di bank. Tabunganku ada di sebuah bank syariah yg berada tak jauh dari SDku. Sambil membawa buku tabungan yg sebenarnya masih atas nama ibuku dan berstatus QQ, sepulang sekolah aku mantap mendatangi bank.  Aku ingat sekali satpam saat itu mendatangi bocah berseragam SD ini lalu menanyakan keperluanku. Kubilang padanya aku mau ambil uang. Ternyata cukup ribet, karena ternyata harus bertemu mbak2 penasehat dulu, yang baru kusadar kini ia adalah customer service. Katanya kenapa adik mau ambil uang banyak sekali? Kukatakan pada mbak itu bahwa aku punya satu orang adik dan dia sedang menungguku membawa pulang orgi, karena dia sedang sangat menginginkannya. 

Baru kuketahui ternyata mengambil uang harus dengan orangtua, namun mbak itu tetap mengambilkan uangnya dan menyuruhku berjanji untuk melaporkan kegiatan ambil uang itu pada ibuku. Aku ingat aku menawarkan kelingkingku saat itu.

Keluar dari bank aku berlari ke gramedia samping sekolah, membeli barang yg kuinginkan, bukan untukku tapi untukmu.

***
Tak ada yang bisa memungkiri berjalannya waktu yang selalu membawa kita pada misteri-misteri masa depan. 

Termasuk masa yg baru saja kita lalui.
Maafkan kakakmu ini yang menolak membelikan keinginan-keinginanmu baru-baru ini. Sungguh percayalah, penolakan itu tak hanya perih di hatimu, tapi lebih perih lagi di hatiku.

Apalah yg dipunya pengangguran selain tabungan yg mepet untuk kepentingan super mendesak? Jika pernah kau lihat ada uang pd tabunganku, percayalah itu bukan milikku.. Itu amanah orang lain yg harus kusalurkan. 

Dek.. Mungkin kamu bosan mendengarkanku bicara tentang menahan keinginan.. Mungkin bisa kau hitung berapa banyak hal yg kuwujudkan utkmu selama ini, atau mungkin pula bahkan kehadiranku pun selama ini tak ada pada masa2 kau beranjak dewasa. Kita sama-sama tak pernah menginginkan perpisahan itu. Tp maaf aku meninggalkanmu pada usiamu yg masih bening.. Maaf terlalu ingin merawat bahagiamu tapi sangat sedikit aksiku untukmu.

 Maaf kalau penolakan ini menyakitimu... Semoga ada rezeki.. Kalaupun blm rezeki smga sama2 diberi pembelajaran yg terbaik.. Dan satu lagiii.. Semoga jangan lama-lama marahnya..

Bertumbuhlah.. Namun kau akan tetap adik kecilku: musuh abadiku yang diam-diam selalu kukirimkan cinta dan doa. 





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Trying To Conceive (TTC) Journey ; Hai Polyps!

Menjadi aku

Vacation ; Well spent