Tak Pernah Siap

Kita selalu tahu bahwa orang-orang tersayang cepat atau lambat akan pergi.. kembali kepadaNya.. tapi kenapa rasanya tak pernah siap jika kenyataan itu hadir tiba-tiba..

***

27 Juli 2021

Setelah sholat subuh, mama mertuaku video call menginfokan bahwa saturasi papah ada di angka 82. Sehari sebelumnya suamiku sudah membuat janji dengan RS Tentara (RST) agar hari ini melakukan swab home care ke rumah mertua karena kedua orangtuaku ga mau periksa apapun selama semingguan sakit. Seharusnya hari ini homecare tersebut datang, tapi karena saturasi sudah di angka 82, maka dari RST mengatakan harus langsung dibawa ke RS agar mendapat bantuan oksigen yang memadai.

Masih teringat jelas pagi itu kegelisahan mulai muncul, suamiku dan aku melaju ke rumah mamah untuk menjemput papah, aku di jalan sibuk mencari RS yang masih ada bed kosong. Mengingat untuk menuliskannya saja membuatku sedih, betapa kalutnya saat itu.

Mengantar Papah ke RS (27/7)


Pada hari itu, hanya RS Kanudjoso yang memiliki bed kosong di IGD, maka kami menjemput Papah untuk diantar ke IGD RSKD. IGD belum buka saat itu karena ruangan IGD ternyata penuh, kami harus menunggu sampai jam 8 tepat agar bisa masuk IGD. Aku berjaga di depan IGD, sedang Cahyo (suamiku) menemani papah di mobil menunggu aba-aba ku, jika IGD sudah buka Cahyo akan membawa mobil tepat ke depan IGD. Waktu berjalan sangat lambat rasanya. Beberapa kali kudatangi satpam memastikan apakah sudah bisa masuk, kukatakan pada pak satpam "ayah saya saturasi rendah, mohon bisa segera masuk dan dapat pertolongan."


Sepuluh menit menunggu, akhirnya Papah diperbolehkan masuk. Ketika pintu IGD dibuka, ada 1 peti jenazah terbuka, sang mayit yang akan menempati peti tersebut ada di sisi kanan kami, sedang dikelilingi petugas medis yang melakukan pemusaran. Kesan pertama yang membuat mental kami sangat down. Begitu masuk ke bagian dalam, baru pertama kali kulihat IGD sepenuh itu. Papah mendapat bed paling ujung. Sembari mengurus administrasi RS, kudengar suara batuk pasien bersahut-sahutan, diiringi suara-suara nafas yang berat. Pengalaman yang membuatku takut, khawatir, panik, dan bingung bercampur aduk.


Hal yang paling berat saat itu adalah ketika dokter memberi kami pilihan papah swab di IGD atau di tempat lain. Karena jika papah bersedia di swab melalui IGD dan hasilnya positif maka papah tidak boleh keluar dari RS, HARUS isolasi di RS. Namun apabila hasilnya negatif, papah diperkenankan pulang ke rumah setelah mendapat perawatan di IGD. Pilihan kedua,  jika papah tidak mau swab di IGD maka IGD mengharuskan papah pulang tanpa tindakan apapun karena IGD tidak mau merawat pasien yang belum jelas teridentifikasi virus atau tidak. 

Sempat kutanyakan pada papah, papah maunya di luar. Tapi kondisi tidak memungkinkan, papah butuh oksigen besar agar tidak drop. Sekali lepas oksigen saja bisa ke angka 70an. Artinya sesak sekali itu.

Hanya aku dan cahyo saat itu. Kami memutuskan agar papah menjalani swab di IGD. Karena hanya itu pilihan paling logis saat itu.

Tes demi tes pun dilalui papah, dari foto rontgen thorax, tes jantung, dan juga tes antigen. 

Hasil pun keluar dan papah dinyatakan positif covid.

Dengan demikian papah tidak boleh keluar dari RS. Saat itu kamar perawatan sedang penuh sehingga papah harus menunggu di IGD. Namun bagi cahyo itu justru kesempatan emas karena ia bisa menemani papah setiap saat. Setidaknya itu yang kulihat, karena Cahyo benar-benar ga mau ninggalin papah barang sebentar pun kecuali untuk sholat. 

RSKD 27 Juli 2021 20.30 WITA


Masih ingat sekali malam itu di depan IGD aku mengiriskan apel untuk papah. Betapa situasi IGD ga pernah sepi, justru pasien terus bertambah. Tak hanya pasien covid. Aku begitu mengingat malam itu, pasien korban kebakaran seorang ibu yang menerjang api demi menyelamatkan anak balitanya. Sungguh menguras emosiku yang sedang mengiris apel. Karena ternyata sang ibu berhasil menyelamatkan anaknya tapi tidak dengan dirinya sendiri. Semoga Allah berikan kelapangan kubur bagi sang Ibu. 

***
Setelah mengiris apel, aku izin ke Cahyo pengen lihat kondisi Papah sejenak sekalian pamit pulang. Saat kutemui, papah sedang cegukan tapi tidak mau minum karena kata beliau airnya rasanya dingin. Saat keluar dari IGD, kutanyakan pada Cahyo apakah mau dibawakan air hangat untuk papah. Ternyata kata Cahyo, Papah sudah cegukan dari sore ga berhenti-berhenti. Belakangan kami tahu, bahwa covid memang menyebabkan cegukan terus menerus tanda adanya gangguan saraf.

22.00 WITA akhirnya kutinggalkan Cahyo yang menemani Papah di ruang IGD RSKD.

Perjalanan pulang dari RS kala itu terasa sangat dingin dan menyedihkan entah kenapa. Tapi aku berusaha berpikir positif dan menenangkan diri.

Malam itu tidur serasa tidak tidur karena aku menanti kabar dari Cahyo.
Alhamdulillah akhirnya dini hari ada kabar..





***
Pagi-pagi cahyo pulang langsung mencangkul tanah karena bayi kucing kami meninggal. Kemudian Cahyo tidur cukup lama, karena semalaman ia tidak tidur.

Setelah Cahyo bangun tidur, ada wa dari papah kalau "papah lapar sekali habis tenaga" kami langsung berbelanja kebutuhan papah, dari pampers, buah, makanan, dll.



Sepanjang hari Cahyo lemes dan kepikiran terus karena terakhir WA papah online adalah 10.17 wita saat mengirimkan pesan kehabisan tenaga. Di wa dan telpon tidak ada respon. Hingga kemudian kami mendapat kabar dari Perawat Papah:


Hati cahyo tak kunjung tenang karena WA papah tetep terakhir online pukul 10.17wita. Malam itu Cahyo diajak berkumpul online dengan keluarga di Jawa untuk mendoakan papah dan om heri (om heri adalah adik kandung papah yang meninggal karena covid tepat saat papah masuk RS 27 Juli 2021). 

Malam itu Cahyo ga tenang tidur, sampai akhirnya pukul 02.00 wita Cahyo mendapat telpon dari RS. RS minta izin untuk melakukan RJP karena nafas papah dinyatakan berhenti. Cahyo mengiyakan. Menit yang sangat panjang menunggu kabar selanjutnya.

Hingga 02.56 WITA
Papah dinyatakan telah meninggal dunia.

***
29 JULI 2021

Hari itu tak pernah mudah. Pagi-pagi kami langsung ke RS, tapi hampa yang kami temukan, kami tidak diperkenankan melihat papah, karena proses pemusaran baru dimulai pukul 08.00 wita. Akhirnya kami menunggu subuh di masjid RSKD, lalu kami ke rumah mamah. Niat hati ingin memberi info ke mamah, tapi mamah menolak, mamah gamau denger kabar apa-apa tentang papah. Maka mamah pun tidak tau bahwa papah meninggal hingga 4 hari setelahnya.


Waktu pemusaran papah pun tiba, kami hanya diperkenankan melihat dari layar  CCTV berukuran sekitar 24 inch dari luar ruangan. Cahyo, suamiku bersandar menumpahkan air mata yang ditahannya. Akhirnya kami bisa melihat papah. Meski hanya bersebelahan ruangan, tapi terasa sangat jauh sekali.




 
Bersama keluarga 9 jenazah lainnya saling menyolati.

Kendaraan terakhir Papah

Rumah terakhir Papah


Robighfirli waliwalidayya.. 

Allah..

Di dunia ini kami belum lama bertemu..

Maka panjangkan pertemuan kami di akhirat.. kumpulkan kami sekeluarga kembali di SurgaMu ya Allah..

Papah..

Semoga kembali dalam jiwa yang ridha..

Maafkan tak ada yg membersamaimu di akhir hidupmu..

Tapi insyaAllah doa kami membersamaimu dalam alam kubur papah.. insyaAllah pah.. 

semoga doa kami bisa menerangi gelapnya kubur papah.. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Trying To Conceive (TTC) Journey ; Hai Polyps!

Menjadi aku

Vacation ; Well spent