Merantaulah

Pak, Bu..
Jangan ragu melepasku ke langit bebas
Karena akan kubawa pulang matahari yang dulu kau bahas..

Saya masih ingat rasanya kala itu, 11 tahun yang lalu. Kerongkongan saya terasa sakit sekali, tak pernah sebelumnya saya rasakan rasa sakit seperti itu. Rasa sakit karena menahan air mata yang berlomba-lomba ingin turun.

Berapa lama air mata itu tertahan?
Jelas tak lama, karena dalam moda transportasi yang mengangkut saya untuk pindah dari Semarang ke Balikpapan, semua tumpah ruah tak terbendung. Saya tak pernah menyangka, di usia saya yang masih belia saya harus keluar dari rumah, berpisah dari keluarga dan orang-orang tersayang serta meninggalkan segala kenyamanan kala itu.

Saya harus keluar rumah, karena nilai saya tak mencukupi untuk masuk SMA negeri favorit orang tua saya di Semarang. Ya, inilah saya yang kemudian diputuskan oleh orang tua saya untuk “keluar rumah”  karena kegagalan. Apa rasanya kegagalan dibarengi dengan perpisahan?

***
Balikpapan. Kota pertama yang saya tinggali jauh dari ibu, kakak, dan adik. Kota yang dijuluki sebagai gembong minyak ini memperkenalkan saya tentang dinamika perasaan menjadi “anak baru” dan beberapa rasa bully karena logat jawa saya yang kelewat medok. Pengalaman pertama saya jauh dari rumah, saya belajar mengelola perasaan ketika tak ada lagi orang dekat yang bisa dijadikan tempat bersandar. Dari kota inilah, saya paham bahwa kita bisa memilih siapapun menjadi keluarga kita. Di sisi yang lain saya juga harus menerima bahwa memilih siapapun itu menjadi keluarga saya juga harus satu paket dengan menerima bahwa saya harus berpisah dengan mereka suatu saat. Dan masa itu datang setelah tiga tahun saya di sana. ada perasaan campur aduk, antara senang akan kembali pulang ke rumah tapi juga sedih karena sudah terlalu banyak orang-orang yang mewarnai hidup saya ketika saya jauh dari rumah. orang-orang berharga yang nama-namanya terlalu dalam menyentuh hidup saya.

Saya pikir selepas lulus SMA, saya bisa lanjut kuliah di kota kelahiran saya, kota yang menjadi rumah saya selama ini. Namun ternyata, sekali lagi saya harus merasakan “keluar dari rumah” dan menyapa sebuah daerah baru, budaya baru, serta kehidupan baru. Lima tahun, tak pernah membuat saya menyesal, merasakan keramahan Jatinangor serta keindahan budaya sunda. Ya, budaya! Adalah hal yang selalu saya suka dari kota-kota yang saya singgahi. Saya bersyukur sekali bisa mengenal budaya di luar budaya “biologis” saya. Tempo lalu saya diberi kesempatan mengenal Kalimantan Timur dengan penduduk yang berasal dari berbagai daerah yang membuat saya mengerti apa itu Batak, Bugis, Toraja, Banjar, dan lain-lain. Kali ini, bumi parahyangan memperkenalkan saya dengan keelokan intonasi bahasa sunda dan kemolekan pemandangan alamnya. Lima tahun dalam naungan lingkungan jurnalistik ciamik, membuat saya belajar tentang kedisiplinan dan kegigihan. Lima tahun bersama keluarga kosan yang sudah seperti saudara kandung yang hingga kini masih saling berkontak kabar mengirimkan foto terbaru generasi terbaru mereka, anak-anak mereka yang rasanya seperti anak sendiri. Lima tahun yang saya pikir akan berhenti sampai situ dan “pulang” ke rumah.

Merasakan prosesi wisuda sarjana dan pulang adalah rutinitas mahasiswa kebanyakan. Tapi saya tak berlama-lama di rumah, hanya 4 bulan, lalu melanjutkan kembali perjalanan “keluar rumah” saya. Kota selanjutnya adalah Ibu Kota Negara. Kota yang paling tidak ingin saya tinggali. Kota yang kemudian berhasil merebut hati saya karena kesabarannya menampung anak-anak dari berbagai daerah. Jakarta, tempat para pengeruk nafkah yang katanya tak nyaman ditinggali. Saya belajar, nyaman itu letaknya di hati, dan kita bisa membuat standar nyaman kita super berganda. Merasai Jakarta adalah tentang merasai kegigihan teman-teman kuliah pascasarjana saya yang usianya tak lagi muda, yang rumahnya berpuluh bahkan ada yang ratusan kilometer dari kampus tapi tak pernah mengeluh justru berprestasi penuh. Di sinilah persaingan itu terasa, menjadi orang yang gigih dan penuh perjuangan. Bekerja sambil berkuliah, adalah pengalaman yang baru saya rasakan dan manisnya selalu terasa bahkan ketika saya berdiri berjam-jam dicommuter line. Terlalu manis dilupakan.

Keluar dari rumah membuat perjalanan hidup saya lebih berwarna. Saya bisa melihat matahari terbit dan tenggelam yang sama dengan warna jingga hingga keemasan yang berbeda setiap harinya dari sudut pandang yang berbeda. Keluarlah dari rumah sesekali, untuk merasakan rasa.

Sebentar lagi mungkin saya harus pulang ke dermaga saya. Dermaga yang dirindu dan merindu. Dermaga yang melepas saya untuk berlayar jauh dan harus kembali menepi kepadanya. Menepi untuk mengaplikasikan ilmu yang didapat selama perjalanan jauh selama ini. Sesuai janji saya pada kehidupan saya, saya memang keluar rumah dengan kegagalan tapi suatu saat insyaAllah saya akan pulang membawa keberhasilan. Merantaulah.. untuk lebih mengetahui betapa luasnya dunia ini dan tentunya betapa mahalnya waktu bersama orang-orang tersayang.


Nurida Sari Dewi
Jurnalistik Unpad 2007
Pasca Ilkom UI 2013
Ditulis untuk mengikuti lomba menulis #BetterOutside

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Trying To Conceive (TTC) Journey ; Hai Polyps!

Menjadi aku

Vacation ; Well spent